Huruf “Lontara” Bugis yang Unik

Jika anda adalah seorang pemerhati budaya dan bahasa daerah, maka anda tentu mengenal huruf “lontara” yang menjadi milik orang bugis. Sebagai orang bugis saya mengamati bahwa huruf “bugis” itu memiliki keunikan dan karakter huruf yang khas. Setidaknya itu yang saya rasakan dan tentu saja saya bangga, menjadi bagian dari budaya yang sangat luar biasa tersebut.
1. Bentuk huruf; dari segi bentuknya, huruf lontara bugis sangat simpel, hanya terdiri dari bentuk kotak-kotak. Inilah sebabnya huruf bugis disebut juga “Hurufu’ sulapa’ eppa'”, atau huruf yang berbentuk empat persegi.
2. Tanda Baca Unik; Tanda baca huruf lontara cukup unik, karena beberapa bunyi vokal hanya di identifikasi dari sebuah tanda di atas, di bawah, di sebelah kiri atau di sebelah kanan kata atau huruf.
Kalau anda perhatikan, maka huruf lontara dapat dikategorikan sebagai lima besar bentuk huruf yang ada di dunia; Huruf arab, China, Sangsekerta, Latin dan Bugis.

“Puang Ngaji”

Saya tidak bermaksud melakukan plecehan atau mengejek dengan sebutan “Puang Ngaji”. Tulisan ini semata-mata ingin merefleksikan apa yang saya rasakan sebagai putra bugis, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan budaya dan masyarakat bugis pada umumnya.
Waktu itu, kalau tidak salah saya masih duduk di bangku Madrasah Aliyah (setingkat SMA), tapi kelasnya berapa…. saya lupa. Saya diajak ke suatu acara pengantin untuk kegiatan “Tudang Mappacci”, yang merupakan salah satu tahapan dari tradisi kegiatan pengantin adat bugis, yang biasanya dilakukan di malam hari sehari sebelum hari pernikahan. Tugas saya malam itu adalah membaca barazanji sebagai bagian dari acara mappacci.
Yang kemudian membuat saya selalu menoleh adalah sebutan “Puang Ngaji” yang sering saya dengar di sela-sela pembacaan barazanji. lapat-lapat saya dengar “Enre’ki’ Puang Ngaji”, maksudnya terus ke bagian atas -bagian atas itu adalah tempat khusus yang biasanya disiapkan untuk orang-orang/tamu/keluarga yang istimewa-. Sayapun menoleh, dan pemandangan yang saya lihat bahwa yang dipanggil “Puang Ngaji” itu adalah seorang Ibu setengah baya, nampak kalau dia adalah bangsawan, kaya, dan sudah menunaikan ibadah haji. Pakaiannya sangat gemerlapan, memakai pakaian kebesaran haji, lengkap dengan segala macam perhiasan emas yang berat-berat bergelantungan mulai dari jari, tangan, leher dan telinga. Baju yang dikenakan pun terbuat dari bahan yang mahal-mahal dan saya lihat umumnya transparan. Mereka sangat dihargai dan dihormati. Bahkan yang punya hajat berdiri menyambut sambil berbungkuk-bungkuk.
Lalu saya menoleh kepojok lain, agak sudut, saya lihat seseorang -yang kemungkinan besar- bukan bangsawan dan belum haji duduk bersama dengan ibu-ibu lain. Saya melihat kadang-kadang mereka saling berbisik. Mungkin mereka kagum dengan “Puang ngaji” yang gemerlapan tadi, pikirku. Yang menjadi lucu -menurut saya- pada kegiatan tersebut adalah ketika salah seorang anggota keluarga kemudian mulai mendata siapa-siapa saja yang akan melakukan kegiatan mappacci. Saya pikir, kemungkinan saya akan mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan mappacci, ternyata salah. Mereka yang didata dalam daftar itu adalah para “Puang Ngaji” yang hadir. Dan setelah cukup, kegiatan pun dimulai. Malam itu, yang mappacci hanyalah yang “puang ngaji”.
Fenomena di atas selalu menarik perhatian, bahwasanya status sosial itu ternyata masih menempati posisi yang sangat penting dalam pandangan masyarakat bugis. Orang-orang bugis masih memandang hal-hal yang bersifat material sebagai sesuatu yang menentukan dalam kehidupan. Bangsawan, kekayaan, dan status sosial lainnya masih menjadi hal-hal terdepan dalam kehidupan. Dan hebatnya, Tidak ada yang protes.
Dalam masyarakat bugis, hal tersebut telah menjadi semacam konvensi bahwa mereka yang memiliki status sosial “bawah” memang harus menerima kenyataan atas diri mereka atas mereka yang memiliki ststuas sosial “atas” tersebut. Para “Puang Ngaji” memiliki hak yang lebih besar dibanding mereka yang bukan bangsawan.

Kikkiri’ Pelleng

Mungkin anda pernah mendengar istilah “kikkiri’ pelleng”. Dalam terminologi bugis, kikkiri’ pelleng adalah gabungan dua kata yang secara terpisah memiliki makna yang sungguh jauh berbeda dan tidak berhubungan; Kikkiri’ dan Pelleng. “Kikkiri” adalah alat pengikis yang biasanya terbuat dari besi dan digunakan untuk mengikis secara perlahan bahan-bahan yang digosokkan dengannya. sedangkan pelleng adalah nama buah yang dikenal dengan kemiri. Jika kedua kata tersebut digabung menjadi kikkiri pelleng, maka menjadi suatu istilah yang sangat jelek; Kikkiri’ pelleng.

Kikkiri pelleng adalah sifat orang-orang yang sangat kikir luar biasa, pelit bin bakhil. Suatu sifat yang sangat dibenci oleh kultur budaya manapun di dunia. Di kalangan masyarakat bugis, Kikkiri’ pelleng sungguh tidak mendapat ruang di hati masyarakat. Bagaimana bisa? Karena orang kikir tidak dapat berkompromi dengan dirinya.